Pasangkayu,SulbarTa.Com-Pemerintah terus menggelontorkan anggaran hingga ratusan miliar rupiah untuk mengatasi stunting dan gizi buruk, krisis lingkungan akibat pencemaran sungai oleh industri kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, justru terus dibiarkan tanpa tindakan tegas dari pemerintah. Sungai-sungai yang selama ini menjadi sumber air utama bagi ribuan warga kini berubah menjadi saluran limbah beracun, memperparah risiko kesehatan masyarakat dan mengancam masa depan generasi.
Sejumlah pabrik kelapa sawit diduga membuang limbah cair langsung ke badan sungai tanpa melalui proses pengolahan yang memadai. Dampaknya langsung dirasakan oleh warga di sepanjang aliran sungai, yang kini terpapar berbagai risiko kesehatan mulai dari penyakit kulit, infeksi saluran pencernaan, hingga potensi keracunan logam berat yang dapat menghambat tumbuh kembang anak-anak.
“Air sungai sekarang bau dan keruh, tapi kami tetap pakai karena tak ada pilihan. Anak-anak kami sering sakit kulit,” keluh Riono, warga Desa Baranti, Minggu (1/6/2025).
Ironisnya, perhatian pemerintah justru lebih banyak tercurah pada agenda-agenda seremonial ketimbang mengatasi akar persoalan lingkungan yang jelas-jelas turut berkontribusi terhadap tingginya angka stunting. Ketimpangan antara kebijakan kesehatan publik dan perlindungan lingkungan ini memperlihatkan kegagalan sistematis dalam pengelolaan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.
Meski pemerintah daerah mengklaim telah memberikan teguran kepada perusahaan pelanggar, tidak ada langkah hukum atau sanksi administratif yang benar-benar dijalankan. Perusahaan tetap beroperasi seperti biasa, seolah-olah kebal terhadap hukum lingkungan yang berlaku.
“Kalau teguran dari pemerintah dianggap lelucon oleh perusahaan, maka pemerintah harus berani jujur pada publik dan mengatakan: kami tidak mampu. Lebih baik pahit tapi jujur daripada terus mempertahankan citra kosong,” tegas Riono, aktivis lingkungan asal Pasangkayu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dinilai gagal menunjukkan ketegasan dalam menghadapi korporasi besar. Ketidakhadiran tindakan nyata menandakan melemahnya wibawa negara. Hukum lingkungan seolah kehilangan daya gigit dan hanya menjadi simbol administratif yang tak memberi perlindungan nyata kepada rakyat.
“Jangan bicara soal menyelamatkan generasi jika Anda membiarkan mereka tumbuh di lingkungan tercemar. Apa gunanya program gizi jika sumber airnya saja sudah beracun?” lanjut Riono.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Barat dan PT Palma Sumber Lestari—salah satu perusahaan yang diduga mencemari sungai—belum memberikan tanggapan resmi. Upaya konfirmasi melalui pesan WhatsApp telah dilakukan oleh tim redaksi SulbarTa, namun belum memperoleh balasan dari pihak terkait.
Masyarakat kini menuntut lebih dari sekadar wacana atau pelatihan formal. Mereka ingin melihat tindakan nyata dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah, demi menjamin lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan aman bagi generasi mendatang.
Tanpa penegakan hukum yang adil dan keberanian politik dari pemangku kebijakan, program penanggulangan stunting hanya akan menjadi proyek statistik belaka—indah di atas kertas, tapi gagal menyentuh realitas kehidupan rakyat di lapangan.
Tayangan Video di Fb SulbarTa