Polman|SulbarTa.com— Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu langkah besar pemerintah dalam membangun generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. Tujuan utamanya sederhana namun bernilai luhur: memastikan setiap anak, terutama dari keluarga kurang mampu, mendapatkan asupan gizi seimbang untuk tumbuh optimal — baik secara fisik maupun kecerdasan.
Secara nasional, program ini mulai dilaksanakan pada tahun 2025 dengan dukungan anggaran sekitar Rp71 triliun, melibatkan berbagai kementerian, serta menyasar lebih dari 19 juta anak, ibu hamil, dan kelompok rentan di seluruh Indonesia.
Di Kabupaten Polewali Mandar, pelaksanaan MBG dijalankan melalui jaringan dapur penyedia makanan yang tersebar di berbagai kecamatan. Dapur-dapur ini memberdayakan banyak tenaga lokal — mulai dari juru masak, pengemas, hingga pengantar makanan — yang setiap hari menyiapkan dan menyalurkan menu bergizi bagi ribuan peserta didik.
Namun, perjalanan program tersebut tidak sepenuhnya tanpa kendala. Beberapa dapur sempat mengalami hambatan administratif yang menyebabkan distribusi makanan di sejumlah sekolah tertunda sementara. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua dan tenaga pendidik, mengingat program MBG diharapkan menjadi tumpuan dalam peningkatan kualitas gizi anak sekolah.
Selain tantangan teknis, muncul pula berbagai masukan dari lapangan terkait mekanisme pelaksanaan dan kualitas penyajian makanan. Sejumlah pihak berharap agar pengawasan lebih diperketat — mulai dari pemilihan bahan, proses pengolahan, hingga pendistribusian ke sekolah — demi menjaga keamanan dan mutu makanan yang dikonsumsi anak-anak.
Anggota DPRD Kabupaten Polewali Mandar, Ilham Djalil, menilai bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya diukur dari ketepatan distribusi, tetapi juga dari kemampuan daerah menyesuaikan pelaksanaan dengan budaya lokal dan potensi pangan setempat.
“Program ini sangat baik karena menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Namun, pelaksanaannya harus memperhatikan kearifan lokal. Misalnya, bahan pangan yang digunakan sebaiknya memanfaatkan hasil pertanian dan perikanan daerah sendiri. Dengan begitu, anak-anak kita mendapat gizi cukup, dan masyarakat lokal ikut merasakan manfaat ekonominya,” ujar Ilham Djalil.
Menurutnya, DPRD akan terus mendorong pengawasan dan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan program MBG di tingkat daerah agar penggunaan anggaran tepat sasaran dan kualitas makanan tetap terjaga.
“Kami di DPRD akan memastikan program ini berjalan transparan, efisien, dan menyentuh masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Jangan sampai niat baik ini tercoreng hanya karena lemahnya koordinasi atau pengawasan,” tegas Ilham.
Di sisi lain, penerapan kearifan lokal dinilai penting untuk memperkuat efektivitas program ini. Menu bergizi akan lebih diterima jika disesuaikan dengan budaya makan masyarakat setempat. Pemanfaatan bahan pangan lokal seperti ikan laut, jagung, ubi, pisang, dan sayur kampung tidak hanya memenuhi standar gizi, tetapi juga membuat makanan lebih familiar di lidah peserta didik.
Pendekatan berbasis kearifan lokal ini turut memberi dampak ekonomi positif bagi masyarakat sekitar — memberdayakan petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil yang menjadi pemasok bahan pangan ke dapur penyedia makanan. Dengan demikian, program MBG bukan hanya menyehatkan anak-anak, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi lokal.
Para pemerhati pendidikan dan gizi pun mendorong agar pelaksanaan MBG dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan masyarakat, serta memperhatikan nilai-nilai budaya daerah. Dengan cara itu, program ini dapat menjadi gerakan bersama untuk menumbuhkan kesadaran gizi, memperkuat solidaritas sosial, dan membangun karakter bangsa sejak dini.
Pada akhirnya, Program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar tentang memberi makan, melainkan tentang merawat masa depan generasi Indonesia — dengan cara yang sehat, manusiawi, dan berpijak pada kearifan lokal yang menumbuhkan kebersamaan.